Shamar De La Brethoniere

Shamar De La Brethoniere, nama berbau Italia ini bukan nama pemain atau pelatih sepak bola yang tengah bertarung di Piala Dunia Afrika Selatan. Shamar sudah meninggal 81 tahun lalu dan kuburannya adalah satu diantara dua sisa kuburan non Muslim yang tersisa dipemakaman Islam Cieunteung Tasikmalaya. Pada batu nisannya yang terbuat dari marmer tertulis Hier rust Meurow Shamar De La Brethoniera. Overlijden 11-6-1929 (disini beristirahat Nyonya Shamar De La. B. meninggal 11-6-1929). Makam yang satu lagi tidak jelas siapa yang dikubur disitu, tulisan pada nissannya sudah hancur dimakan usia. Kuburan Cieunteung dahulunya memang sebuah Kerkkoff (kuburan Belanda). Setelah Kemerdekaan, seiring dengan penyerahan kedaulatan yang kemudian disusul kepulangan para pejabat dan tentara Belanda ke negerinya. Kerkkoff yang terletak di Cieunteung Tasikmalaya pun kemudian berubah fungsi jadi pekuburan Muslim.

Saya pernah bertanya pada Sutisna salah seorang penggali kubur di Cieunteung, kenapa 2 kuburan non muslim itu tidak dibongkar. Dengan lugu Sutisna menjelaskan, takut kalau pada suatu waktu ada keturunan Shamar berkunjung, lalu menuntut pertanggungan jawab. Sebagai buruh kecil sekelas penggali kubur Sutisna sadar, orang kecil selalu berpotensi dijadikan tumbal kalau suatu hal muncul jadi kasus.


Dalam bahasa Arab, makam atau maqom, bukan hanya bermakna kuburan, maqom bisa bermakna : posisi, kedudukan, dapat juga dimetaforakan sebagai tolok ukur derajat kehormatan seseorang. Maqom derajat kehormatan bisa jadi suatu yang sangat sensitif yang dapat menjadi trigger factor (faktor pemicu) timbulnya suatu permasalahan. Dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap pemerintah Kolonial Hindia Belanda pada era Perang Kemerdekaan yang oleh pihak Belanda dicatat sebagai De Twee Groote Orloog (Dua Perang Besar) yakni Java Oorlog (Perang Diponegoro – Jawa 1825 – 1830) Atjeh Oorlog (Perang Aceh) kedua perang perlawanan itu di picu oleh direndahkannya maqom derajat seseorang yang menjadi tokoh di daerahnya. Java Oorlog (Perang Jawa), seperti halnya Atjeh Oorlog (Perang Aceh), berlangsung lama, menelan korban yang besar, hampir membakar sebagian besar daerah di Pulau Jawa serta memaksa Pemerintah Hindia Belanda mengocek kantong hingga 25 juta gulden. Bukan jumlah yang sedikit untuk ukuran masa itu. Keletihan luar biasa dan rasa frustrasi akibat kegagalan strategi dalam perang tersebut membuat para petinggi militer Belanda memeras otak mencari strategi baru.

Diponegoro terlahir bernama Raden Mas Ontowiryo, adalah putra sulung dari Sultan Hamengku Buwono III (HB III) atau disebut juga sultan Raja, lahir pada hari Jumat Wage, 8 Muharram tahun Be 1712 Wuku Wayang, atau masehi 11 Nopember 1785 di Yogyakarta. Moment yang menjadi trigger factor itu ternyata sederhana sekali, yaitu pada pertengahan tahun 1825, tepatnya pada awal Juli 1825, Patih Danureja IV, kolabolator Belanda yang setia, telah memerintahkan pejabat-pejabat kesultanan Yogyakarta untuk membuat jalan, di mana antara lain menembus tanah milik Diponegoro dan lokasi pemakaman nenekn moyangya di Tegalrejo.

Penggunaan tanah milik Diponegoro untuk jalan tanpa sepengetahuan Diponegoro sebagai pemiliknya. Diponegoro memerintahkan pegawai--pegawainya untuk mencabut tonggak-tonggak yang dipancangkan sebagai tanda pembuatan jalan oleh Patih Danureja IV. Tindakan Diponegoro ini ditindak lanjuti dengan protes keras menuntut supaya Patih Danureja dipecat dari jabatannya. Tetapi A.H. Smisaert, selaku Residen Belanda di Yogyakarta menolak dan menekan sultan untuk tetap mempertahankan Patih Danureja IV. Suasana tegang ini menjadi pemicu meletusnya Perang Jawa, sebuah perang yang dipicu oleh pelecehan maqom keningratan Raden Mas Ontowiryo (Pangeran Diponegoro), dan pelecehan maqom pertalian wasilah dengan leluhur ketika kuburan nenek moyangnya akan dipotong pembuatan jalan.

Pecahnya Perang Aceh merupakan akibat dari buntunya proses diplomasi antara Sultan Kerajaan Aceh Darussalam dengan Komisaris Pemerintah Belanda, Niuwenhuijzen. Belanda akhirnya mengirimkan surat “pernyataan perang” kepada Kerajaan Aceh Darussalam tertanggal 26 Maret 1873. Surat ini sampai kepada Sultan Aceh pada 1 April 1873.

Isi surat pada intinya adalah pernyataan Pemerintah Hindia Belanda yang berkewajiban untuk memelihara kepentingan umum atas perniagaan dan pelayaran di Kepulauan Hindia Timur.

Niuwenhuijzen berdalih bahwa pemberitahuan kepada Sultan Aceh telah disampaikan pada 22 dan 24 Maret 1873. Belanda mengklaim bahwa pemberitahuan ini tidak mendapat respon dari pihak Sultan Aceh. Namun meledaknya kemarahan rakyat Aceh terjadi Pada 8 April 1873, ketika Belanda mendarat di Pantai Ceureumen di bawah pimpinan Kohler dan langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman serta membakarnya. Melihat aksi brutal ini, Cut Nyak Dhien dengan lantang berkata : “Hai sekalian mukmin yang bernama orang Aceh! Lihatlah! Saksikan sendiri dengan matamu masjid kita dibakarnya! Mereka Menentang Allah, tempatmu beribadah dibakarnya! Nama Allah dicemarkan! Camkan itu! Janganlah kita melupakan budi si kaphe yang serupa itu! Masih adakah orang Aceh yang suka mengampuni dosa si kaphe serupa? Masih adakah orang Aceh yang suka menjadi budak Belanda?”

Masjid bagi orang Aceh adalah maqom ibadah tempat sarana hablum minalloh dan hablum minnanas (hubungan dengan Allah dan hubungan dengan sesama). Pembakaran Masjid Raya Baiturrahman telah membakar rasa harga diri dan semangat rakyat Aceh, pembakaran itu harus dibayar mahal oleh Kohler. Pada ekspedisi pertama ini, Kohler tewas. Dia tertembak pada 15 April 1873. Jenasah Kohler sempat dilarikan ke Kapal “Citadel van Antwerpen”.

Bagi Raden Mas Ontowiryo (Pangeran Diponegoro) sejak muda diasuh oleh neneknya, Ratu Ageng adalah janda Sultan HB I, yang tinggal di Tegalrejo, Yogyakarta. Dalam asuhan Ratu Ageng yang dikenal sebagai pribadi yang taat dan saleh ini Diponegoro mempelajari dan memperdalam ilmu agama dan kebatinan serta sejarah. Kitab agama dan Jawa kuno yang mengandung ajaran hukum dan ajaran keluhuran rohani. Sebenarnya sebagai putra raja, bisa saja hidup bersenang-senang dengan bergelimang kemewahan, namun dia lebih memilih hidup sederhana di luar tembok istana, di tengah rakyat yang saat itu sedang mengalami penderitaan yaitu tepatnya di desa Tegalrejo, barat kota Kerajaan Yogyakarta. Tumbuh dengan maqom kualitas spiritual seperti itu, makna kuburan bagi Diponegoro bukan sekedar tempat disemayamkannnya jasad para leluhur, kuburan baginya adalah jembatan tawasul dalam pengembaraan mencari bekal untuk kembali ke asal. Java Oorlog dan Atjeh Oorlog berkobar karena dilecehkannya nilai-nilai spiritual oleh arogansi kolonial yang didorong nafsu kekuasaan dan keserakahan material.

De Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC – Perusahaan Dagang Hindia Timur) sudah dibubarkan sejak hampir 200 tahun lalu, pemerintah Hindia Belanda sudah 60 tahun melepaskan cengkraman. Selasa, 14 April 2010 pelecehan ala Tegalrejo kembali terjadi pada makam Habib Hasan al-Haddad. Pada 1930, kolonial Belanda memindahkan makamnya ke Tempat Pemakaman Umum Dobo di Koja. Lalu pada 1987, pemerintah memindahkan kompleks pemakaman Dobo ke TPU Budi Dharma di Cilincing. Satu versi menyebutkan, kerangka jenazah Mbah Priok akan dipindah pada 1997. Namun, setelah dua tahun dipindah, ahli waris justru membangun kompleks makam di sana. Padahal lahan itu milik PT Pelindo. Terjadilah aksi saling klaim antara PT Pelindo dan keluarga ahli waris.

Aksi pembongkaran makam Habib Hasan Alhadad yang populer dengan sebutan Mbah Priok pada Selasa, 14 April 2010 itu mendapat tentangan hebat dari warga setempat. Warga menolak penggusuran lahan makam Mbah Priok karena makam ini menjadi tempat keramat dan bersejarah dalam sejarah umat Islam Betawi. Mbah Priok adalah ulama, mujahid dan juru dakwah Islam yang membawa Islam ke wilayah itu. Nama “Tanjungpriok” di Jakarta Utara itu pun diambil dari nama Mbah Priok.

Bentrokan warga dengan aparat yang terdiri dari Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) pun tak bisa dihindari. Keberingasan Satpol PP dan Polisi semakin memperkeruh suasana, mengakibatkan tertumpahnya darah di makam yang terletak di kawasan Koja.

Bagi kota besar seperti Jakarta, konotasi tempat pemakaman adalah tempat peristirahatan terahir bagi seorang warga sebuah sudah tidak dapat dijamin. hampir semua pemakaman, terutama yang terletak di wilayah Jakarta Pusat, berubah jadi apartemen, perkantoran atau pusat perbelanjaan. Di Jakarta, nilai-nilai kesakralan sebuah makam sebagai maqom penantian dikalahkan kepentingan yang dikemas dengan dalih demi pembangunan atau pengembangan kota. Beruntunglah Signora Shamar De La Brethoniere meninggal dan dikubur di pemakaman Cieunteung Tasikmalaya. Seandainya dikubur di Jakarta, mungkin sudah dibongkar atau ditumpuk dengan jasad yang lain, atau bahkan sudah digusur jadi lapangan golf. Sekedar usul, sebaiknya kuburan Shamar memang tidak dibongkar atau dipindahkan, ditengah kemerosotan maqom akhlaq, setidaknya hal itu jadi semacam maqom monumen sikap jiwa besar dan toleransi warga Muslim Tasikmalaya.

Komentar

Postingan Populer