Advocat Itu Iblis, Bunuh Saja Semua Pengacara Itu !

Judul bombastis diatas bukan dimaksudkan untuk memprovokasi aksi anarkis publik yang geram dan kecewa melihat realita kebusukan para penanggung jawab dunia hukum dan keadilan yang terungkap ketika Mahkamah Konstitusi (MK) memutar rekaman hasil sadapan KPK pada hari Selasa tanggal 3 November 2009.

Kill all the Lawyer adalah judul novel karangan William Shakespear. Judul itu diambil dari teriakkan Suffolk yang marah ketika Richard sang pengacara bukannya membela malah membeberkan perselingkuhan Suffolk dengan Margareth, Suffolk ahirnya dijatuhi hukuman gantung bukan karena karena kasus pembunuhan Glocester tapi karena perselingkuhan dengan istri Raja. Ketika akan dibawa ketiang gantungan Suffolk, ia sempat berteriak dengan penuh dendam : Kill all the Lawyer !..Bunuh saja semua Pengacara itu !

1997 Paramount Picture memproduksi Devil Advocate (Pengacara itu Iblis) berdasarkan novel Andrew Neiderman, disutradari Taylor Hackford dan dibintangi : Keanu Reeves, Al Pacino, Charlize Theron. Plot cerita film ini tentang Pengacara yang tidak pernah kalah dalam perkara sekalipun untuk itu ia menjual nurani jiwanya mengabdi pada Lucifer (Raja Iblis) yang ia biarkan bertahta dan berkuasa dalam dirinya. Al Pacino sangat berhasil membawakan peran John Milton, Pengacara sukses yang dikuasai iblis itu.


Sebelumnya Devil Advocate , 1994, Al Pacino mendapat nominasi peraih Oscar dalam film Serpico. Dalam film itu ia berperan sebagai Frank Serpico, Polisi muda yang ditempatkan dalam satuan yang semuanya tidak ada yang jujur. Setiap ahir pekan Frank selalu menolak pemberian uang 10-4 dari komandannya. 10-4 itu sama dengan 86 di Kepolisan kita. Keseriusan Frank menindak para pengedar narkoba yang sebenarnya berada dalam perlindungan, dianggap membahayakan bisnis kotor kesatuannya. Disusunlah konspirasi untuk melenyapkan Frank Serpico, melalui penggerebekan yang direkayasa, dalam penggerebekan itu itu Frank dibiarkan ditembaki oleh gang pengedar. Nyawa Frank dapat diselamat, namun ia cacat. Begitu sehat, sekalipun melalui tekanan dan ancaman, Frank Serpico berhasil membongkar kekotoran kesatuannya. Film Serpico dibuat berdasarkan kisah nyata.

Ketika MK memutar hasil sadapan KPK, yang hadir dipersidangan dan jutaan lainnya yang menyimak liwat TV seakan melihat gambaran Kill all the Lawyer, Devil Advocate dan Serpico digabung jadi satu.

Jauh sebelum penangkapan Bibit dan Chandra, dari alasan tuduhan sangkaan yang dilemparkan pihak polisi yang terus berubah-ubah : penyalahgunaan wewenang, penyuapan terus diganti jadi pemerasan, masyarakat sudah mencium ketidak beresan dalam tubuh Polri, masyarakat menganggap bahkan menuduh Polisi bertindak arogan dan terlibat dalam scenario kriminalisasi KPK. Commont of sence masyarakat muncul secara spontan ketika Bibit dan Chandra ditahan. Semakin genjar polisi menepis bahwa tindak penahanan itu bukan dilandasi balas dendam atau rekayasa kriminalisasi KPK, semakin turun kepercayaan masyarakat. Penahanan kedua tokoh KPK itu malah mendorong muncul gejolak demonstrasi diseluruh tanah air yang memprotes dan menuntut penundaan penahanan kedua ketua KPK non aktif itu. Beberapa tokoh Politik dan figur ternama bahkan bersedia dijadikan jaminan untuk mengeluarkan Bibit dan Chandra. Di dunia maya pun sampai ada gerakan 1 juta suara solidaritas yang menuntut agar mengeluarkan Bibit dan Chandra. Menghadapi itu Polisi dengan arogan tidak menanggapi aksi protes masyarakat. Eskalasi gejolak mendorong SBY membentuk TPF, tim yang dibentuk SBY pun awalnya dianggap sebelah mata, baru setelah heboh pemutaran rekaman yang menelanjangi kebobrokan Polisi dan Kejaksaan, timbul protes besar yang mampu menimbulkan snow ball gelundungan bola salju power people kekuatan rakyat yang akan menggilas bahkan berpotensi menghancurkan sistem, snow ball yang dapat berlembang lebih dahsyat dari gerakan anti pemerintah pada tahun 1966 maupun tahun 1998.

Melihat potensi itu, Polisi baru bergeming, malam harinya Bibit dan Chandra dikeluarkan dari tahanan. Ledakan reaksi kekecewaan masyarakat terhadap instusi Polisi dan Kejaksaan terjadi dimana-mana, mereka menuntut agar semua nama Pejabat yang disebut dalam rekaman di non aktifkan, termasuk Susno Duaji, yang kemudian mengundurkan diri pada 5 November 2009 setelah didesak oleh TPF.

Citra Polisi yang sempat naik dalam sukses penanganan terorisme langsung menukik anjlok sampai ketitik nadir, perilaku oknum yang disebut dalam rekaman hasil sadapan KPK merusak Grand Strategi akselerasi transformasi Polri yang menargetkan membangun kepercayaan dalam masyarakat, dengan terkuaknya kasus Kriminalisasi KPK, menjatuhkan kredibilitas Polri dimata masyarakat.

Bambang Widododo Umar, Dosen Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia mengusulkan agar dibentuk lembaga pengawasan independen di dalam lingkup kepolisian, tapi harus tidak berada dibawah Kapolri, sebab jika lembaga pengawas tetap berada dibawah Kapolri, seperti Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri, lembaga semacam itu terbukti sulit melakukan kontrol. Kuatnya hubungan “pertemanan” sesama anggota Polri membuat pengawasan internal Polri sulit bersikap objektif.
Lembaga independen itu sebaiknya jangan diisi oleh birokrat atau orang pemerintahan, tapi berisikan akademisi, tokoh agama, tokoh masyarakat, atau lembaga masyarakat. Jika diperlukan lembaga ini perlu diberi hak melakukan penyelidikan atas dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan polisi.

Saat ini, yang masih melukai rasa keadilan masyarakat dan menyinggung kredibilitas TPF, adalah sikap arogan dan meremehkan rakyat yang diperlihatkan Polri yang tidak bersikap tegas terhadap seorang Markus (makelar kasus) Anggodo yang sudah jelas merupakan aktor utama dalam kriminalisasi KPK, bukan rahasia lagi, bukan cuma di Mabes atau Bareskrim, ditingkat Polda dan Polres pun banyak berkeliaran Anggodo-Anggodo lainnya yang punya “akses” bebas keluar masuk, dan punya power untuk mengatur memutar balik kasus, menghitamkan yang putih, membenarkan yang salah dan sebaliknya menyalahkan yang benar Memang sudah waktunya dilakukan reformasi besar-besaran dalam tubuh Polri, mengingat semakin lunturnya prinsip Catur Prasetya, terutama butir ke empat : Tan Satrisna – Ikhlas tanpa pamrih dalam menjalankan tugas.

Tasikmalaya 5 November 2009.
DR. H. Budi Schwarzkrone. Msc.
Mubaligh Ponpes Suryalaya.
Insan Film dan TV.
Pelaku dan Pengamat Sejarah Kepolisian RI.

Wacana ini diterbitkan Koran Radar hari ini 9 Nov 2009 dengan judul “diperhalus” jadi : Perlu Reformasi di Tubuh Polri.

Komentar

Postingan Populer